Peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 di Manado Kutipan: ‘’Puluhan pembom
B-29 Angkatan Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi puing. Banyak
penduduk tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata
Sekutu, sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan
beberapa pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati.’’
Kronologi Juli 1944: Tentara Jepang menderita kekalahan dalam pertempuran di
lautan Pasifik terhadap serangan pasukan Sekutu lalu mundur dan memperkuat kubu
pertahanannya di Sulawesi dan Maluku Utara. Dr Sam Ratulangi di Jakarta
mengirim perutusan pemuda ke Manado untuk menyambut kemerdekaan Indonesia bila
perang Pasifik berakhir dengan kemenangan Sekutu. Perutusan ini terdiri dari dua
anggota tentara Freddy Lumanauw, Mantik Pakasi dan para pemuda Wim Pangalila,
Olang Sondakh dan Buce Ompi. Mereka diberangkatkan dengan kereta api ke
Surabaya dan mereka menaiki kapal Dai Yu Maru langsung ke Manado. Mereka
dihentar ke stasiun Gambir di Jakarta oleh Dr Ratulangi, Mr Maramis dan perwira
Kaigun-Jepang, Maeda. September 1944: Puluhan pembom B-29 Angkatan Udara Sekutu
memusnahkan Kota Manado sampai menjadi puing. Banyak penduduk tewas.
Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata Sekutu, sebagiannya
terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa pejabat
polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati. Tentara Sekutu di bawah
Jendral Mac Arthur menduduki Morotai dan menyerang kubu-kubu pertahanan Jepang
di Sulawesi Utara lalu beralih dan menduduki pada 10 Oktober pulau Leyte di
Filipina. April-Agustus 1945: Pimpinan tentara Kaigun yang pindah ke Tondano
mempersiapkan Indonesia Merdeka sesuai janjinya. Bendera Merah-Putih mulai
dikibarkan di samping bendera Hinomaru sedangkan jabatan-jabatan sipil
berangsur-angsur diserahkan kepada bangsa Indonesia. Tentara keamanan
diserahkan oleh panglima Laksamana Hamanaka kepada Indonesia dalam bentuk
pasukan Pembela Tanah Air (PTA), pimpinan Wangko Sumanti, tetapi tidak dengan
penyerahan senjata.
BPNI melihat kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim
Pangalila, merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh
Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling. Bagian NEFIS-Belanda mulai
mencurigai Lumanauw dan Pakasi yang kedapatan telah disusupkan oleh Dr
Ratulangi dari Jakarta ke dalam KNIL. Mereka berdua dimasukkan dalam penjara di
Manado oleh oditur militer Schravendijk dan akan diproses untuk diadili.
Rencana John Rahasia dan Wim Pangalila untuk merebut kekuasaan pada upacara
NICA 10 Januari, juga diketahui NEFIS dan semua tokoh pemuda BPNI di Manado dan
Tondano telah ditangkap pada hari sebelumnya.
Dua minggu kemudian mereka dilepaskan karena belum ada bukti hukum untuk
dapat dituntut di mahkamah militer. Februari 1946 Komplotan militer KNIL di
Teling masih dicurigai oleh bagian intel NEFIS dan panglima KNIL yang bermarkas
di Tomohon memerintahkan supaya menahan dalam ‘’streng arrest’’ di Teling para
pemimpinnya, yakni Furir Taulu, Sersan Wuisan, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan
Sambuaga dan Wim Tamburian, karena mereka telah menghasut tentara Indonesia
dari kompi-kompi di Teling, Tomohon dan di Girian supaya berontak karena
kekurangan gaji, ransun, rokok, berbeda dengan jaminan yang terima oleh sesama
tentara bangsa Belanda. Apalagi tentara Indonesia yang berpegang di bawah
pimpinan Sekutu dalam Perang Dunia II dihargai dan dijamin sama terhadap
seluruh pasukan. Belanda tidak mengetahui bahwa hasutan-hasutan di seluruh
kalangan militer Indonesia hanyalah untuk menutupi rahasia yang bertujuan
sebenarnya untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan menegakkan kemerdekaan
Indonesia. Pimpinan rencana kup ini hanya menggunakan strategi kampanye untuk
memuluskan pelaksanaannya dengan melancarkan provokasi tentang ketidakadilan
jaminan antara tentara Indonesia dan tentara Belanda.
Tentara KNIL umumnya bukan inginkan kemerdekaan. 14 Februari 1946 Khusus
Kompi-VII bekas Pasukan Sekutu yang terkenal pemberani dan menjadi tumpuan
harapan pimpinan KNIL tidak diduga Belanda telah dapat dipengaruhi, bahkan
komandan peleton I Kopral Mambi Runtukahu telah ditunjuk oleh Taulu dan Wuisan
untuk memulaikan aksi penyergapan pos-pos di markas garnisun Teling-Manado
tepat nanti pada jam satu tengah malam. Dan menangkap semua tentara Belanda,
mulai dengan komandan garnisun Kapten Blom, komandan Kompi-VII Carlier, CPM dan
seterusnya di Kota Manado.
Hal ini telah berlangsung sesuai rencana rahasia dari Taulu-Wuisan. Tidak
ada perlawanan, karena semua tentara Indonesia yang tidak termasuk Pasukan
Tubruk hanya menganggap bahwa pemberontakan militer ini hanya perlu untuk
menuntut keadilan serta perbaikan nasib dan jaminan yang sama bagi tentara
Indonesia. Ketiga pimpinan Taulu, Wuisan dan Lumanauw dibebaskan dari tahanan
dan semua tentara Belanda ditampung sementara oleh Kopral Wim Tamburian dalam
satu gedung di Teling. Keluarga mereka di berbagai kompleks militer tidak diapa-apakan
tetapi mereka semua akhirnya dikumpulkan di Sario.
Kaum nasionalis yang ditangkap NICA karena dituduh kolaborator Jepang
seperti Nani Wartabone, OH Pantouw, Geda Dauhan, yang berada di penjara
termasuk pimpinan pemuda BPNI, John Rahasia dan Chris Ponto yang berniat
memberontak pada Januari yang lalu, semuanya dibebaskan oleh aksi militer
Kompi-VII. Frans Bisman dan Freddy Lumanauw berangkat dengan dua peleton pada
pagi hari ke markas besar KNIL di Tomohon untuk menangkap komandan KNIL De
Vries dan Residen NICA Koomans de Ruyter. Kemudian satu regu pemberontak
militer dari Manado menuju ke Girian-Tonsea untuk menahan Letnan Van Emden,
komandan kompi yang menjaga kamp tawanan Jepang. Mula-mula mereka alami
kesulitan tetapi Kumaunang dapat menangkapnya dengan cepat. Kapten KNIL J
Kaseger yang selama ini non-aktif di Tondano dan sedang memulihkan kesehatannya
karena penderitaan selama ditahan tentara Jepang, tidak menyangka berhasilnya
kup militer Indonesia terhadap atasannya Belanda. Ia segera ke Manado dan Furir
Taulu, Sersan Wuisan dan Sersan Nelwan mengajaknya untuk mengambil alih
pimpinan pemberontakan karena pangkatnya yang lebih tinggi.
Kaseger adalah tamatan Akademi Militer di Breda, Belanda, dan apa salahnya
ia sebagai orang Indonesia melepaskan sumpah kesetiannya pada Ratu Belanda dan
ikut dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya. 15 Februari 1946 Komandan KNIL De
Vries yang tertawan dihadapkan oleh Kaseger kepada Taulu dan Wuisan untuk
memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan mereka. De Vries
bertanya apakah kup militer ini dapat menjamin kelangsungan hidup dan keamanan
8 kompi tentara dan 8000. Tawanan Jepang tanpa bantuan suplai Belanda atau
Sekutu atau dari manapun? Pada saat itu sebenarnya Taulu sudah harus menyerah
tetapi ia katakan bahwa kup militer ini: ‘’kami bersama pemuda sedang
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan ini kami pertahankan.’’ Kaseger hanya
membiarkan Taulu dan Wuisan tetap pada pendirian mereka tetapi ia juga tidak
memihak pada De Vries, apalagi pemuda BPNI telah menguasai situasi dan membantu
pemberontakan. Di seluruh daerah Minahasa mulai dikibarkan bendera Merah-Putih
dan semua pamong praja ditertibkan dalam alam pemerintahan baru yang merdeka.
16 Februari 1946 Sidang darurat Dewan Minahasa di Manado menetapkan sesuai
rencana semula Kepala Distrik Manado, BW Lapian sebagai Kepala Pemerintah
Merah-Putih Merdeka dengan kabinet serta berbagai departemennya, yakni W
Saerang (sekretariat), DA Th Gerungan (pemerintahan), Alex Ratulangi
(keuangan), drh Wim Ratulangi (perekonomian), R Hidayat (kehakiman), Mayor SD
Wuisan (merangkap kepolisian), dr Ch Singal (kesehatan), E Katoppo
(pengajaran), Max Tumbel (perhubungan/pelabuhan). Selanjutnya barisan pemuda
PPI dipercayakan untuk memelihara keamanan di seluruh wilayah di bawah
hulubalang-besar ED Johannes dan para hulubalang dengan kota serta kecamatan,
yakni untuk kota besar Manado John Rahasia, selanjutnya untuk berbagai wilayah
kecamatan para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo Supit, John Malonda, Max
Roringkon, Ton Lumenta dan lain-lain. Sedangkan untuk markas besar PPI di
Tondano terdapat nama-nama Wim Pangalila, Chris Ponto, Ben Wowor, Engel
Parengkuan, Andi Masengi, Mat dan Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit dan
lain-lain. 22 Februari 1946 Rapat umum di lapangan Tikala yang diselenggarakan
oleh pemerintah merdeka Merah-Putih Sulawesi Utara dan dihadiri para tokoh
militer, sipil, pamongpraja dan masyarakat rakyat, menyatakan bergabung dengan
perjuangan kemerdekaan seluruh Indonesia di bawah pemerintah RI Sukarno-Hatta
di Yogyakarta. 23 dan 24 Februari 1946 Pimpinan Sekutu dari Makassar datang
berunding di Manado di atas kapal El Libertador, dipimpin oleh kepala
perutusannya, Letkol Purcell didampingi pimpinan NICA-Belanda dan Panglima KNIL
Kol Giebel. Perutusan Pemerintah Merah-Putih dipimpin oleh BW Lapian didampingi
komandan Ch Taulu, Pemuda PPI dan anggota stafnya. Tuntutan Sekutu untuk
mengembalikan kekuasaan NICA atau meneruskan perundingan di Makassar setelah
ditolak oleh pihak Indonesia, masih diberi kesempatan untuk mendengar keputusan
akhir dari rakyat pada esok harinya yang diselenggarakan di Tomohon. Rapat
rakyat ini dihadiri oleh semua tokoh nasionalis, pemuda dan para wakil dari
daerah-daerah Sulut yang akhirnya juga menolak pemulihan kekuasaan Belanda di
daerah ini. Maka keputusan Sekutu yang disampaikan oleh wakilnya Purcell
menyatakan mulai saat itu ‘’Kekuasaan daerah setempat berada dalam status
perang dengan Sekutu, namun meminta supaya seluruh warga Belanda dievakuasi ke
Morotai dan kamp tawanan Jepang tetap dijaga atas nama Sekutu’’. Delegasi
Indonesia menerima pernyataan perang dan permintaan Sekutu tersebut. Kapal El
Libertador selama dua hari mengangkut semua warga Belanda di Manado-Minahasa ke
pangkalan Sekutu di Morotai, lalu delegasi Sekutu itu kembali ke Makassar.
Tindakan Sekutu-Belanda selanjutnya ialah meletakkan blokade di sekitar
perairan Sulawesi Utara dan melakukan embargo terhadap suplai kebutuhan bahan
dan makanan yang datang dari luar daerah ini. 10 Maret 1946 Setelah 24 hari
mengalami blokade Sekutu, rakyat di daerah Minahasa mulai gelisah dan kaum
militer yang ikut memberontak untuk tujuan perbaikan nasib beralih sikap dan
mulai menentang pimpinan TRISU. Kapten Kaseger menyiapkan suatu kontra aksi
dari kalangan militer dan menunggu saatnya untuk menggulingkan pemerintah
merdeka Merah-Putih Lapian-Taulu, sedangkan PPI masih menuntut supaya para
anggotanya dipersenjatai.
Ternyata semua senjata dari tentara Jepang setelah dikumpulkan Sekutu yang
segera dibuang ke dasar laut sedang TRISU tidak dapat meluluskan senjata yang
dipegang oleh anggota pasukannya untuk diserahkan atau dibagikan kepada PPI.
Akhirnya pasukan-pasukan pengikut Taulu-Wuisan berbalik memihak kepada Kaseger
yang sedang memulihkan kekuasaan KNIL kembali ke tangan Belanda. Kaseger
dibantu oleh kapal perang Belanda HMS Piet Hein yang bersama kapal perang HMS
Evertsen sedang mengangkut pasukan KL Divisi 7-Desember dari negeri Belanda
untuk disebarkan di Indonesia. Mula-mula Gorontalo diduduki oleh tentara
marinir Belanda dari kapal perang HMS Piet Hein, kemudian pasukan-pasukan yang
pernah ikut pemberontakan Taulu di Teling berbalik mulai menyerang pimpinan
TRISU di Manado, Tomohon, dan Girian. Pemberontak dan pejuang utama Mambi
Runtukahu tewas dalam pertempuran di Girian. Pada pagi tanggal 10 Maret itu
juga pimpinan TRISU ditangkap di Teling dan pasukan Kaseger beranjak mematahkan
seluruh pertahanan pemuda PPI di Manado san selanjutnya yang giat di Tomohon
dan Kakas, kemudian pada 16 Maret markas PPI dan seluruh pimpinannya di Tondano
ditangkap Kaseger dan dimasukkan dalam penjara Manado. Tentara Belanda KL
diturunkan ke darat membantu pasukan kapten KNIL Kaseger untuk memulihkan
kekuasaan Belanda di Sulawesi Utara. Sebaliknya para anggota pucuk pimpinan
Merah-Putih ditahan dan dikurung di kapal Piet Hein. Juga pasukan KNIL pimpinan
Kaseger yang tadinya melatih para pemuda PPI memegang senjata menyebar ke
daerah Minahasa dan menangkap semua pimpinan pemuda PPI itu yang menyerah tanpa
ada perlawanan. Kecuali No Korompis dan pasukan pemuda yang masih bertahan di
perbukitan Tonsaru dan Paleloan. Begitupun hulubalang PPI John Rahasia yang
tidak mau menyerahkan diri dan lari dengan perahu untuk bergabung dengan
perjuangan di Sulawesi Selatan. Para warga Belanda yang dievakuasi ke Morotai
dipulangkan kembali ke Manado yang telah dikuasai dan dipulihkan kembali oleh
NICA. Semua pemimpin pemberontakan militer dan pemuda ditangkap dan
dipenjarakan.
Mereka yang diadili oleh mahkamah militer Belanda dijatuhkan hukuman sampai
20 tahun. Anggota militer No Korompis dan Freddy Lumanauw dijatuhkan hukuman
penjara 20 dan 15 tahun sedang yang lainnya dari Pasukan Tubruk dan para tokoh
nasionalis dan pemuda kurang dari 10 tahun. Mereka semua dipindahkan ke penjara
Bandung, Jakarta dan Nusa Kembangan, di antara mereka tokoh sipil: BW Lapian,
Nani Wartabone, Kusno DP, ED Johannes, John Rahasia, Wim Pangalila, Mat Canon,
John Malonda, W Saerang. Mereka semua dibebaskan setelah tercapai persetujuan
KMB. Demikian sekilas kronologi fakta perjuangan Merah-Putih untuk kemerdekaan
Indonesia pada 1946 di Sulawesi Utara. Setelah berakhir kekuasaan de facto
kemerdekaan pada 10 Maret 1946, perjuangan revolusi dilanjutkan dengan berbagai
gerakan politik atau perjuangan di bawah tanah selama masa kekuasaan NIT-NICA
sampai tercapainya persetujuan KMB di Den Haag-Belanda pada akhir 1949. DAMPAK
PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946 DI MANADO Di Sulawesi Utara peristiwa
Merah-Putih 14 Februari 1946 masih dikenangkan, namun arti dan nilai peristiwa
terlupakan. Dampaknya tidak ada lagi sekarang. Waktu Presiden Soekarno
memaklumkan pada peringatannya 10 Maret 1965 di Istana ‘’bahwa Hari 14 Februari
adalah hari Sulawesi Utara’’ (1) sejarah dunia membenarkan ucapan Bung Karno
ini dan, (2) sejarah perjuangan Indonesia mensyukurinya. Dampak dalam Sejarah
Dunia Berturut-turut radio-radio Australia, San Franscisco dan BBC London dan
Harian Merdeka di Jakarta menyiarkan tentang ‘’Pemberontakan Besar di
Minahasa’’. Dampak peristiwa ini pada tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda) menggemparkan.
Bagi tentara AS yang sudah payah dan ingin pulang ke tanah airnya, masih harus
mendeportasi 8000 tawanan tentara Jepang di Girian. Apa akan jadi kalau mereka
dilepaskan dan bergabung dengan pasukan PPI-Merah Putih?
Mereka belum lupa bahwa di Pulau Okinawa 1500 tentara AS menjadi korban
menghadapi tentara Nippon yang juga bertempur habis karena ‘’hara kiri’’.
Tentara Inggris di Makassar (South East-Asia Command Outer Islands) masih
trauma karena Jenderal Mallaby terbunuh pada peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya. Tentara Belanda yang menjadikan Minahasa sebagai basisnya yang kuat
untuk menyerang Republik Indonesia yang berpusat di Yogya, malah harus
menyerahkan diri kepada TRISU-Taulu di Teling. Peristiwa 14 Februari 1946 di
Manado tercatat dalam sejarah dunia, karena wakil Sekutu-Inggris di Makassar
Col Purcell menyatakan pada 24 Februari 1946 di Teling-Manado ‘’bahwa pada hari
ini tentara Sekutu menyatakan perang dengan kekuasaan Sulawesi-Utara
(Lapian-Taulu)’’. Sulawesi Utara sudah dianggapnya suatu negara merdeka yang
memiliki wilayah, pemerintah, tentara dan rakyatnya sendiri secara utuh dari 14
Februari tetapi akhirnya menyerah kalah pada 11 Maret 1946. Dampaknya dalam
Sejarah Indonesia Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memberikan tugas
kepada seluruh bangsa Indonesia: ‘’Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan
dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Soekarno-Hatta.’’ Tugas ini telah dilaksanakan oleh Lapian-Taulu
dengan sangat berhasil melalui kudeta 14 Februari 1946, walaupun hanya dapat
bertahan selama 24 hari dan kemudian dilanjutkan dengan revolusi kemerdekaan
sampai akhir 1950 (KMB). Selama perang kemerdekaan RI dari 1945-1949, hanya
kudeta 14 Februari 1946 yang berhasil merebut kekuasaan Belanda dan
menggantikannya dengan suatu pemerintahan nasional yang merdeka di bawah
pimpinan Lapian-Taulu. Semua pejabat Belanda NICA-KNIL ditangkap, ditawan dan
dideportasi ke Morotai. Di tahun 1946-1948 sesuai perjanjian Linggarjati dan
Renville oleh kedua pihak RI dan Belanda, wilayah nusantara yang di luar
Jawa-Sumatera tidak termasuk dalam kekuasaan RI yang berpusat di Yogya, namun
pemerintah Merah-Putih Lapian-Taulu pada 22 Februari 1946 menyatakan dalam rapat
umum di Lapangan Tikala Manado, bahwa Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI
yang berpusat di Yogya. Peristiwa Merah-Putih di Sulawesi Utara meliputi
seluruh perjuangan kemerdekaan di daerah Gorontalo, Bolaang Mongondow, Manado,
Minahasa dan Sangir-Talaud yang dinyatakan oleh Bung Karno dipusatkan pada 14
Februari sebagai Hari Sulawesi Utara. Hal ini dilandasi pada fakta di Sulawesi
Utara sendiri, karena pada saat itu tokoh-tokoh perintis kemerdekaan di daerah,
Nani Wartabone, Raja Manoppo, OH Pantouw, GEDA Dauhan berada dan turut serta
dalam menegakkan kemerdekaan Merah Putih di Manado. LN Palar wakil Indonesia di
PBB menyatakan sendiri bahwa RI diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia,
termasuk rakyat Sulawesi Utara, buktinya dengan peristiwa Merah-Putih di
Manado, seraya membantah Wakil Belanda Kleffen yang berargumentasi bahwa
perjuangan kemerdekaan RI hanya untuk Jawa dan Sumatera. Bagaimana tentang
perjuangan KRIS di Jawa? Di tahun 1945 daerah Minahasa, khususnya kawanua,
begitupun KRIS, dicurigai oleh laskar-laskar seperjuangan di Jawa, sebagai
‘’kaki-tangan Belanda’’. Kawanua di Jawa menghadapi hambatan ini sejak tentara
Jepang mendarat di Indonesia.
Dr Sam Ratulangi di Jakarta dan Joop Warouw di Surabaya waktu Jepang
mendarat, berusaha menyelamatkan para keluarga kawanua di Jawa, karena mereka
dituduh dan dianggap ‘’Londo’’ (Belanda), musuh Nippon. Di waktu revolusi
kemerdekaan yang berkobar pada 1945, KRIS pun masih dicurigai malah dinista
bahwa laskar-laskar perjuangannya tidak ikhlas, hanya untuk menyelamatkan muka
dan kulitnya. Tetapi dengan peristiwa 14 Februari 1946 segala kecurigaan ini
terhapus sudah dan KRIS diakui benar sebagai ‘’comrade-in-arms’’ dalam
menegakkan NKRI, bahkan di Minahasa rakyat seluruhnya sudah mendahului. Pada
peristiwa 14 Februari 1946, Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) menghitung 5000
anggota yang bergabung dengan TRISU dari Letkol Taulu. Tokoh utama yang
berhasil merebut tangsi KNIL di Teling, Mambi Runtukahu, akhirnya gugur pada 10
Maret 1946 sebagai kusuma bangsa. Juga Alo Porayouw telah gugur pada pagi 14
Februari 1946 waktu hendak menangkap Komandan KNIL di Tomohon. Karena senjata
tidak ada pada PPI dan hanya dipegang oleh TRISU maka Sekutu/Belanda dengan
mudah mengambil alih kekuasaan dengan pendaratan Divisi ‘’7 Desember’’ pada 10
Maret 1946 oleh kapal perang HMS Piet Hein.
Sejarah perjuangan ini tidak dikenal apalagi dihayati oleh generasi penerus
termasuk anak-anak yang masih di bangku sekolah. Ada buku sejarah yang
dianjurkan berturut-turut oleh dua Kepala Dinas PDK di Sulut untuk dipakai di
semua sekolah, tetapi effeknya dalam kehidupan sehari-hari tampaknya tidak ada.
Hari Sulawesi Utara yang dipuja oleh Bung Karno waktu peringatan di Istana
Negara 10 Maret 1965 tidak dikenal atau digubris oleh masyarakat Provinsi
Sulawesi Utara. Otto Rondonuwu, Ketua Komisi LN pada KNIP di Yogyakarta
menyampaikan suatu ucapan Bung Karno, ketika mendengar berita ‘’Pemberontakan
Besar di Minahasa’’ dari AFP-Radio Australia, yang berbunyi: (baca buku
‘’Sulawesi Utara Bergolak’’). ‘’Minahasa, walaupun daerah terkecil dan
terpencil di wilayah Republik Indonesia, namun putera-puteranya telah
memperlihatkan kesatriaannya terhadap panggilan Ibu Pertiwi. Laksanakan tugasmu
dengan seksama dan penuh tanggung-jawab!’’.
1 comments:
sejarah yang sangat bagus untuk dibaca
Elever Agency
Post a Comment