Seperti tak menaruh iba dan
kasihan angin yang kuat mengudu pohon – pohon durian yang besar dan berpuluh –
puluhan tahun umurnya. Deru – deru dan derak – derak yang memenuhi rimba
belukar itu tiadalah ubahnya dengan tempik sorak dan ratap tangis orang di
tengah peperangan.
Alamat seorang raja rimba alam,
jatuh ketanah untuk selama – lamanya, menarik apa yang ditariknya dan menimpa
apa yang dibawahnya, laksana hendak membalas dendam dan panas hatinya.
Ditengah rimba durian, yang
kusut masai oleh angin yang kuat itu berdiri sebuah pondok ditempat yang
lapang, didalam rumah kecil itu menyala sebuah pelita minyak tanah yang
sebentar – bentar hampir padam diembus oleh angin yang dapat masuk dari celah –
celah dinding kulit kayu itu.
Disudut pintu, duduk seorang
laki – laki Syahbudin yang mempunyai pondok itu bersandar di dinding termenung.
Pakaiannya, celana pendek dan baju kaus, yang telah koyak – koyak melukiskan
kemiskinan dan kemelaratan yang sehari – hari dideritanya. Air matanya yang
keruh, pipinya yang kempis dan matanya yang cekung menyatakan bahwa jalan
dengan ranjau dan duri, banyak mendaki menurun.
Syahbudin menerima nasibnya
dengan tulus dan iklas, tak ia tahu bahwa sekaliannya itu kehendak Allah yang
mahakuasa. Telah enam tahun lamanya ia mengembara dari dusun ke dusun untuk
mencari nafkahnya tiga beranak, sejak rumahnya dimusnahkan api, rumah yang
didirikannya dengan tulang dan keringatnya sendiri dan sejak istrinya, belahan
dadanya berpulang ke Rahmatullah oleh sebab kesusahan, meninggalkan dua orang
anak yang masih perlu asuhan ibu.
0 comments:
Post a Comment