ASAL USUL NAMA KOTA SURABAYA
Surabaya adalah sebuah kota
besar di Indonesia yang sekaligus sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur. Asal
usul nama kota yang berjuluk “Kota Pahlawan” ini memiliki banyak versi, mulai
dari versi sejarah hingga versi cerita mitos. Menurut sejarah, nama kota ini
sudah muncul sejak awal Kerajaan Majapahit, yakni dikenal dengan nama Ujung
Galuh. Namun karena sebuah peristiwa, maka daerah itu dinamakan “Surabaya” yang
berarti “selamat dari bahaya”. “Surabaya” sendiri diambil dari simbol
ikan sura atau hiu (selamat) dan buaya (bahaya) untuk menggambarkan
kepahlawanan tentara Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya melawan pasukan
Tar Tar (Mongol). Lalu, bagaimana asal usul nama “Surabaya” menurut versi
mitos? Berikut kisahnya dalam cerita Asal
Usul Nama Surabaya?
Dahulu, di perairan sebelah
utara Jawa Timur, hiduplah seekor baya atau buaya dan seekor sura
(hiu) yang saling bermusuhan. Kedua binatang buas yang sama-sama tangkas, kuat,
dan ganas tersebut hampir setiap saat berkelahi untuk memperebutkan mangsa.
Mereka kerap bertarung hingga berhari-hari lamanya, namun tidak pernah ada yang
kalah maupun menang. Meskipun perilaku kedua binatang buas ini kerap mengganggu
ketenteraman, namun tak satu pun hewan yang berani menghentikan pertikaian
mereka.
Suatu ketika, si Baya dan si
Sura merasa bosan terus-terusan berkelahi. Mereka sepakat untuk berdamai.
“Hai, Baya. Aku sudah bosan
terus-terusan berkelahi,” kata si Sura.
“Benar katamu. Aku pun merasa
demikian,” jawab si Baya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan
permusuhan ini?”
“Hmmm... bagaimana kalau
daerah kekuasaan kita bagi dua. Aku sepenuhnya berkuasa di dalam air. Semua
mangsa yang ada di dalam air menjadi bagianku. Sementara kamu sepenuhnya berkuasa
di daratan. Jadi, mangsamu hanya yang berada di daratan,” usul Sura. “Tapi,
perlu kamu ketahui bahwa antara darat dan air yaitu adalah tempat yang dicapai
air laut pada waktu pasang.”
“Baik, Sura. Aku setuju dengan
usulanmu,” jawab si Baya.
Sejak itulah, si Baya dan si
Sura tidak pernah lagi berkelahi. Binatang-binatang lain yang ada di sekitar
mereka pun hidup tenteram dan damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung
lama. Gara-garanya adalah Si Sura beberapa kali mencari mangsa di sungai, bukan
di laut. Suatu hari, ketika si Sura mencari mangsa di sungai, si Baya akhirnya
memergokinya. Tentu saja si Baya marah sekali melihat perilaku Si Sura.
“Hai, Sura. Berani-beraninya
kamu memasuki wilayah kekuasaanku! Mengapa kamu melanggar perjanjian kita?”
tanya si Baya dengan kesal.
“Siapa yang melanggar
perjanjian? Hai, Baya, apakah kamu ingat isi perjanjian kita dulu bahwa akulah
yang berkuasa di wilayah air? Bukankah sungai ini juga ada airnya?” kata si
Sura.
Benar apa yang dikatakan si
Sura. Tapi, si Baya tetap bersikeras ingin mempertahankan daerah kekuasaannya.
“Hai, Sura. Aku tahu kalau
sungai ini ada airnya. Tapi, bukankah kamu lihat sendiri bila sungai ini berada
di darat?” tanya si Baya, “Itu berarti sungai ini daerah kekuasaanku, sedangkan
daerah kekuasaanmu ada di laut.”
Namun, si Sura tetap merasa
bahwa alasannya yang paling kuat.
“Tidak bisa, Baya! Aku tidak
pernah mengatakan bahwa air itu hanya ada di laut, tetapi air itu juga ada di
sungai.”
“Hai, Sura. Kamu memang
sengaja mencari gara-gara. Aku tidak sebodoh yang kamu kira,” kata si
Baya.
“Ha... ha... ha...,” si Sura
tertawa terbahak-bahak. “Hai, Baya. Aku tidak perduli kamu bodoh atau pintar.
Yang jelas sungai ini adalah wilayah kekuasaanku!”
Merasa ditipu, si Baya pun
meminta agar perjanjian itu dibatalkan dan menantang si Sura untuk saling
mengadu kekuatan.
“Baiklah kalau begitu, Sura.
Perjanjian kita batal! Yang penting sekarang, siapa yang lebih kuat di antara
kita, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal di wilayah ini,” tegas si Baya.
“Kamu menantangku berkelahi
lagi, Baya? Siapa takut?” jawab si Sura.
Akhirnya, pertarungan sengit
pun kembali terjadi antara kedua binatang buas itu. Kali ini, mereka bertarung
mati-matian karena siapa pun di antara mereka yang kalah, dia harus meninggalkan
wilayah tersebut. Tanpa menunggu waktu lagi, si Baya langsung menerjang si Sura
yang berada di dalam air. Sementara itu, si Sura yang sudah bersiap-siap dengan
cepat berkelit menghindari serangan.
Si Sura dan si Baya masih
saling menerkam dan menggigit. Dalam suatu serangan, si Sura berhasil menggigit
pangkal ekor si Baya. Air sungai yang semula jernih pun langsung berubah
menjadi merah akibat darah yang keluar dari luka si Baya. Meskipun dalam keadaan
terluka parah, si Baya terus berupaya melakukan perlawanan. Usahanya tidak
sia-sia karena ia berhasil menggigit ekor si Sura hingga hampir terputus. Tak
ayal, si Sura pun menjerit kesakitan seraya melarikan diri menuju lautan.
Si Baya merasa puas karena
mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut,
masyarakat setempat menamakan daerah tersebut “Surabaya”, yaitu diambil dari
gabungan kata Sura dan Baya. Oleh pemerintah setempat, gambar
ikan Sura dan Buaya dijadikan sebagai lambang kota Surabaya yang hingga kini
masih dipakai.
0 comments:
Post a Comment