.post img:hover { -moz-trnasform: scale(1.3) ; -webkit-transform: scale(1.3); -o-transform: scale(1.3) ; -ms-transform: scale(1.2) ; transform: scale(1.3) ;}

Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado

09:40 |

Peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 di Manado Kutipan: ‘’Puluhan pembom B-29 Angkatan Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi puing. Banyak penduduk tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata Sekutu, sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati.’’ Kronologi Juli 1944: Tentara Jepang menderita kekalahan dalam pertempuran di lautan Pasifik terhadap serangan pasukan Sekutu lalu mundur dan memperkuat kubu pertahanannya di Sulawesi dan Maluku Utara. Dr Sam Ratulangi di Jakarta mengirim perutusan pemuda ke Manado untuk menyambut kemerdekaan Indonesia bila perang Pasifik berakhir dengan kemenangan Sekutu. Perutusan ini terdiri dari dua anggota tentara Freddy Lumanauw, Mantik Pakasi dan para pemuda Wim Pangalila, Olang Sondakh dan Buce Ompi. Mereka diberangkatkan dengan kereta api ke Surabaya dan mereka menaiki kapal Dai Yu Maru langsung ke Manado. Mereka dihentar ke stasiun Gambir di Jakarta oleh Dr Ratulangi, Mr Maramis dan perwira Kaigun-Jepang, Maeda. September 1944: Puluhan pembom B-29 Angkatan Udara Sekutu memusnahkan Kota Manado sampai menjadi puing. Banyak penduduk tewas. Tokoh-tokoh nasionalis dicurigai Jepang sebagai mata-mata Sekutu, sebagiannya terdiri dari para raja Sangihe-Talaud, tokoh Tionghoa dan beberapa pejabat polisi dan pamong praja yang menjalankan hukuman mati. Tentara Sekutu di bawah Jendral Mac Arthur menduduki Morotai dan menyerang kubu-kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara lalu beralih dan menduduki pada 10 Oktober pulau Leyte di Filipina. April-Agustus 1945: Pimpinan tentara Kaigun yang pindah ke Tondano mempersiapkan Indonesia Merdeka sesuai janjinya. Bendera Merah-Putih mulai dikibarkan di samping bendera Hinomaru sedangkan jabatan-jabatan sipil berangsur-angsur diserahkan kepada bangsa Indonesia. Tentara keamanan diserahkan oleh panglima Laksamana Hamanaka kepada Indonesia dalam bentuk pasukan Pembela Tanah Air (PTA), pimpinan Wangko Sumanti, tetapi tidak dengan penyerahan senjata. Di Jawa dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 oleh Soekarno-Hatta yang kemudian baru dimaklumi di Sulawesi Utara. Panglima Hamanaka menyerah kepada Tentara Sekutu di Morotai dengan seluruh pasukannya sejumlah 8000 orang yang dikumpulkan di kamp tawanan di Girian-Bitung. September 1945 Pemuda Sulawesi Utara membentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia (BPNI) sementara NICA-Belanda di bawah perlindungan Sekutu menduduki kembali Indonesia Timur, khususnya Sulawesi Utara, dan segera berusaha memulihkan kekuasaannya dari masa Hindia-Belanda tetapi terlibat clash dengan pasukan pemuda BPNI. NICA telah membentuk kembali LOI (organisasi pusat ketentaraan) sebesar 8 kompi yang terdiri dari tentara KNIL bekas pasukan Sekutu dengan menerima juga bekas Heiho-Jepang dan pensiunan militer (reserve corps). Sesuai misi dari Ratulangi pasukan NICA ini harus disusupi oleh para pemuda pejuang militer untuk kemudian dibantu oleh pemuda (BPNI) mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini terlaksana sehingga di asrama militer di Teling-Manado dibentuk suatu organisasi gelap yang sangat rahasia oleh Freddy Lumanauw dan Wangko Sumanti yang dinamakan mereka: ‘’Pasukan Tubruk’’. Januari 1946: Akhir Desember 1945, seluruh pasukan Sekutu (Australia) meninggalkan Manado dan tugas Sekutu diserahkan kepada NICA-KNIL di bawah pimpinan Tentara Inggris yang berpusat di Makassar. BPNI melihat kesempatan ini dan pemimpinnya, John Rahasia dan Wim Pangalila, merancangkan suatu pemberontakan pemuda yang akan dibantu oleh Freddy Lumanauw dari Pasukan Tubruk di Teling. Bagian NEFIS-Belanda mulai mencurigai Lumanauw dan Pakasi yang kedapatan telah disusupkan oleh Dr Ratulangi dari Jakarta ke dalam KNIL. Mereka berdua dimasukkan dalam penjara di Manado oleh oditur militer Schravendijk dan akan diproses untuk diadili. Rencana John Rahasia dan Wim Pangalila untuk merebut kekuasaan pada upacara NICA 10 Januari, juga diketahui NEFIS dan semua tokoh pemuda BPNI di Manado dan Tondano telah ditangkap pada hari sebelumnya. Dua minggu kemudian mereka dilepaskan karena belum ada bukti hukum untuk dapat dituntut di mahkamah militer. Februari 1946 Komplotan militer KNIL di Teling masih dicurigai oleh bagian intel NEFIS dan panglima KNIL yang bermarkas di Tomohon memerintahkan supaya menahan dalam ‘’streng arrest’’ di Teling para pemimpinnya, yakni Furir Taulu, Sersan Wuisan, Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian, karena mereka telah menghasut tentara Indonesia dari kompi-kompi di Teling, Tomohon dan di Girian supaya berontak karena kekurangan gaji, ransun, rokok, berbeda dengan jaminan yang terima oleh sesama tentara bangsa Belanda. Apalagi tentara Indonesia yang berpegang di bawah pimpinan Sekutu dalam Perang Dunia II dihargai dan dijamin sama terhadap seluruh pasukan. Belanda tidak mengetahui bahwa hasutan-hasutan di seluruh kalangan militer Indonesia hanyalah untuk menutupi rahasia yang bertujuan sebenarnya untuk menggulingkan kekuasaan Belanda dan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Pimpinan rencana kup ini hanya menggunakan strategi kampanye untuk memuluskan pelaksanaannya dengan melancarkan provokasi tentang ketidakadilan jaminan antara tentara Indonesia dan tentara Belanda. Tentara KNIL umumnya bukan inginkan kemerdekaan. 14 Februari 1946 Khusus Kompi-VII bekas Pasukan Sekutu yang terkenal pemberani dan menjadi tumpuan harapan pimpinan KNIL tidak diduga Belanda telah dapat dipengaruhi, bahkan komandan peleton I Kopral Mambi Runtukahu telah ditunjuk oleh Taulu dan Wuisan untuk memulaikan aksi penyergapan pos-pos di markas garnisun Teling-Manado tepat nanti pada jam satu tengah malam. Dan menangkap semua tentara Belanda, mulai dengan komandan garnisun Kapten Blom, komandan Kompi-VII Carlier, CPM dan seterusnya di Kota Manado. Hal ini telah berlangsung sesuai rencana rahasia dari Taulu-Wuisan. Tidak ada perlawanan, karena semua tentara Indonesia yang tidak termasuk Pasukan Tubruk hanya menganggap bahwa pemberontakan militer ini hanya perlu untuk menuntut keadilan serta perbaikan nasib dan jaminan yang sama bagi tentara Indonesia. Ketiga pimpinan Taulu, Wuisan dan Lumanauw dibebaskan dari tahanan dan semua tentara Belanda ditampung sementara oleh Kopral Wim Tamburian dalam satu gedung di Teling. Keluarga mereka di berbagai kompleks militer tidak diapa-apakan tetapi mereka semua akhirnya dikumpulkan di Sario. Kaum nasionalis yang ditangkap NICA karena dituduh kolaborator Jepang seperti Nani Wartabone, OH Pantouw, Geda Dauhan, yang berada di penjara termasuk pimpinan pemuda BPNI, John Rahasia dan Chris Ponto yang berniat memberontak pada Januari yang lalu, semuanya dibebaskan oleh aksi militer Kompi-VII. Frans Bisman dan Freddy Lumanauw berangkat dengan dua peleton pada pagi hari ke markas besar KNIL di Tomohon untuk menangkap komandan KNIL De Vries dan Residen NICA Koomans de Ruyter. Kemudian satu regu pemberontak militer dari Manado menuju ke Girian-Tonsea untuk menahan Letnan Van Emden, komandan kompi yang menjaga kamp tawanan Jepang. Mula-mula mereka alami kesulitan tetapi Kumaunang dapat menangkapnya dengan cepat. Kapten KNIL J Kaseger yang selama ini non-aktif di Tondano dan sedang memulihkan kesehatannya karena penderitaan selama ditahan tentara Jepang, tidak menyangka berhasilnya kup militer Indonesia terhadap atasannya Belanda. Ia segera ke Manado dan Furir Taulu, Sersan Wuisan dan Sersan Nelwan mengajaknya untuk mengambil alih pimpinan pemberontakan karena pangkatnya yang lebih tinggi. Kaseger adalah tamatan Akademi Militer di Breda, Belanda, dan apa salahnya ia sebagai orang Indonesia melepaskan sumpah kesetiannya pada Ratu Belanda dan ikut dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya. 15 Februari 1946 Komandan KNIL De Vries yang tertawan dihadapkan oleh Kaseger kepada Taulu dan Wuisan untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan perselisihan mereka. De Vries bertanya apakah kup militer ini dapat menjamin kelangsungan hidup dan keamanan 8 kompi tentara dan 8000. Tawanan Jepang tanpa bantuan suplai Belanda atau Sekutu atau dari manapun? Pada saat itu sebenarnya Taulu sudah harus menyerah tetapi ia katakan bahwa kup militer ini: ‘’kami bersama pemuda sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan ini kami pertahankan.’’ Kaseger hanya membiarkan Taulu dan Wuisan tetap pada pendirian mereka tetapi ia juga tidak memihak pada De Vries, apalagi pemuda BPNI telah menguasai situasi dan membantu pemberontakan. Di seluruh daerah Minahasa mulai dikibarkan bendera Merah-Putih dan semua pamong praja ditertibkan dalam alam pemerintahan baru yang merdeka. 16 Februari 1946 Sidang darurat Dewan Minahasa di Manado menetapkan sesuai rencana semula Kepala Distrik Manado, BW Lapian sebagai Kepala Pemerintah Merah-Putih Merdeka dengan kabinet serta berbagai departemennya, yakni W Saerang (sekretariat), DA Th Gerungan (pemerintahan), Alex Ratulangi (keuangan), drh Wim Ratulangi (perekonomian), R Hidayat (kehakiman), Mayor SD Wuisan (merangkap kepolisian), dr Ch Singal (kesehatan), E Katoppo (pengajaran), Max Tumbel (perhubungan/pelabuhan). Selanjutnya barisan pemuda PPI dipercayakan untuk memelihara keamanan di seluruh wilayah di bawah hulubalang-besar ED Johannes dan para hulubalang dengan kota serta kecamatan, yakni untuk kota besar Manado John Rahasia, selanjutnya untuk berbagai wilayah kecamatan para komandan Mat Canon, Eddy Mondong, Jo Supit, John Malonda, Max Roringkon, Ton Lumenta dan lain-lain. Sedangkan untuk markas besar PPI di Tondano terdapat nama-nama Wim Pangalila, Chris Ponto, Ben Wowor, Engel Parengkuan, Andi Masengi, Mat dan Usman Pulukadang, Nona Wuli Supit dan lain-lain. 22 Februari 1946 Rapat umum di lapangan Tikala yang diselenggarakan oleh pemerintah merdeka Merah-Putih Sulawesi Utara dan dihadiri para tokoh militer, sipil, pamongpraja dan masyarakat rakyat, menyatakan bergabung dengan perjuangan kemerdekaan seluruh Indonesia di bawah pemerintah RI Sukarno-Hatta di Yogyakarta. 23 dan 24 Februari 1946 Pimpinan Sekutu dari Makassar datang berunding di Manado di atas kapal El Libertador, dipimpin oleh kepala perutusannya, Letkol Purcell didampingi pimpinan NICA-Belanda dan Panglima KNIL Kol Giebel. Perutusan Pemerintah Merah-Putih dipimpin oleh BW Lapian didampingi komandan Ch Taulu, Pemuda PPI dan anggota stafnya. Tuntutan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan NICA atau meneruskan perundingan di Makassar setelah ditolak oleh pihak Indonesia, masih diberi kesempatan untuk mendengar keputusan akhir dari rakyat pada esok harinya yang diselenggarakan di Tomohon. Rapat rakyat ini dihadiri oleh semua tokoh nasionalis, pemuda dan para wakil dari daerah-daerah Sulut yang akhirnya juga menolak pemulihan kekuasaan Belanda di daerah ini. Maka keputusan Sekutu yang disampaikan oleh wakilnya Purcell menyatakan mulai saat itu ‘’Kekuasaan daerah setempat berada dalam status perang dengan Sekutu, namun meminta supaya seluruh warga Belanda dievakuasi ke Morotai dan kamp tawanan Jepang tetap dijaga atas nama Sekutu’’. Delegasi Indonesia menerima pernyataan perang dan permintaan Sekutu tersebut. Kapal El Libertador selama dua hari mengangkut semua warga Belanda di Manado-Minahasa ke pangkalan Sekutu di Morotai, lalu delegasi Sekutu itu kembali ke Makassar. Tindakan Sekutu-Belanda selanjutnya ialah meletakkan blokade di sekitar perairan Sulawesi Utara dan melakukan embargo terhadap suplai kebutuhan bahan dan makanan yang datang dari luar daerah ini. 10 Maret 1946 Setelah 24 hari mengalami blokade Sekutu, rakyat di daerah Minahasa mulai gelisah dan kaum militer yang ikut memberontak untuk tujuan perbaikan nasib beralih sikap dan mulai menentang pimpinan TRISU. Kapten Kaseger menyiapkan suatu kontra aksi dari kalangan militer dan menunggu saatnya untuk menggulingkan pemerintah merdeka Merah-Putih Lapian-Taulu, sedangkan PPI masih menuntut supaya para anggotanya dipersenjatai. Ternyata semua senjata dari tentara Jepang setelah dikumpulkan Sekutu yang segera dibuang ke dasar laut sedang TRISU tidak dapat meluluskan senjata yang dipegang oleh anggota pasukannya untuk diserahkan atau dibagikan kepada PPI. Akhirnya pasukan-pasukan pengikut Taulu-Wuisan berbalik memihak kepada Kaseger yang sedang memulihkan kekuasaan KNIL kembali ke tangan Belanda. Kaseger dibantu oleh kapal perang Belanda HMS Piet Hein yang bersama kapal perang HMS Evertsen sedang mengangkut pasukan KL Divisi 7-Desember dari negeri Belanda untuk disebarkan di Indonesia. Mula-mula Gorontalo diduduki oleh tentara marinir Belanda dari kapal perang HMS Piet Hein, kemudian pasukan-pasukan yang pernah ikut pemberontakan Taulu di Teling berbalik mulai menyerang pimpinan TRISU di Manado, Tomohon, dan Girian. Pemberontak dan pejuang utama Mambi Runtukahu tewas dalam pertempuran di Girian. Pada pagi tanggal 10 Maret itu juga pimpinan TRISU ditangkap di Teling dan pasukan Kaseger beranjak mematahkan seluruh pertahanan pemuda PPI di Manado san selanjutnya yang giat di Tomohon dan Kakas, kemudian pada 16 Maret markas PPI dan seluruh pimpinannya di Tondano ditangkap Kaseger dan dimasukkan dalam penjara Manado. Tentara Belanda KL diturunkan ke darat membantu pasukan kapten KNIL Kaseger untuk memulihkan kekuasaan Belanda di Sulawesi Utara. Sebaliknya para anggota pucuk pimpinan Merah-Putih ditahan dan dikurung di kapal Piet Hein. Juga pasukan KNIL pimpinan Kaseger yang tadinya melatih para pemuda PPI memegang senjata menyebar ke daerah Minahasa dan menangkap semua pimpinan pemuda PPI itu yang menyerah tanpa ada perlawanan. Kecuali No Korompis dan pasukan pemuda yang masih bertahan di perbukitan Tonsaru dan Paleloan. Begitupun hulubalang PPI John Rahasia yang tidak mau menyerahkan diri dan lari dengan perahu untuk bergabung dengan perjuangan di Sulawesi Selatan. Para warga Belanda yang dievakuasi ke Morotai dipulangkan kembali ke Manado yang telah dikuasai dan dipulihkan kembali oleh NICA. Semua pemimpin pemberontakan militer dan pemuda ditangkap dan dipenjarakan. Mereka yang diadili oleh mahkamah militer Belanda dijatuhkan hukuman sampai 20 tahun. Anggota militer No Korompis dan Freddy Lumanauw dijatuhkan hukuman penjara 20 dan 15 tahun sedang yang lainnya dari Pasukan Tubruk dan para tokoh nasionalis dan pemuda kurang dari 10 tahun. Mereka semua dipindahkan ke penjara Bandung, Jakarta dan Nusa Kembangan, di antara mereka tokoh sipil: BW Lapian, Nani Wartabone, Kusno DP, ED Johannes, John Rahasia, Wim Pangalila, Mat Canon, John Malonda, W Saerang. Mereka semua dibebaskan setelah tercapai persetujuan KMB. Demikian sekilas kronologi fakta perjuangan Merah-Putih untuk kemerdekaan Indonesia pada 1946 di Sulawesi Utara. Setelah berakhir kekuasaan de facto kemerdekaan pada 10 Maret 1946, perjuangan revolusi dilanjutkan dengan berbagai gerakan politik atau perjuangan di bawah tanah selama masa kekuasaan NIT-NICA sampai tercapainya persetujuan KMB di Den Haag-Belanda pada akhir 1949. DAMPAK PERISTIWA MERAH PUTIH 14 FEBRUARI 1946 DI MANADO Di Sulawesi Utara peristiwa Merah-Putih 14 Februari 1946 masih dikenangkan, namun arti dan nilai peristiwa terlupakan. Dampaknya tidak ada lagi sekarang. Waktu Presiden Soekarno memaklumkan pada peringatannya 10 Maret 1965 di Istana ‘’bahwa Hari 14 Februari adalah hari Sulawesi Utara’’ (1) sejarah dunia membenarkan ucapan Bung Karno ini dan, (2) sejarah perjuangan Indonesia mensyukurinya. Dampak dalam Sejarah Dunia Berturut-turut radio-radio Australia, San Franscisco dan BBC London dan Harian Merdeka di Jakarta menyiarkan tentang ‘’Pemberontakan Besar di Minahasa’’. Dampak peristiwa ini pada tentara Sekutu (AS-Inggris-Belanda) menggemparkan. Bagi tentara AS yang sudah payah dan ingin pulang ke tanah airnya, masih harus mendeportasi 8000 tawanan tentara Jepang di Girian. Apa akan jadi kalau mereka dilepaskan dan bergabung dengan pasukan PPI-Merah Putih? Mereka belum lupa bahwa di Pulau Okinawa 1500 tentara AS menjadi korban menghadapi tentara Nippon yang juga bertempur habis karena ‘’hara kiri’’. Tentara Inggris di Makassar (South East-Asia Command Outer Islands) masih trauma karena Jenderal Mallaby terbunuh pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Tentara Belanda yang menjadikan Minahasa sebagai basisnya yang kuat untuk menyerang Republik Indonesia yang berpusat di Yogya, malah harus menyerahkan diri kepada TRISU-Taulu di Teling. Peristiwa 14 Februari 1946 di Manado tercatat dalam sejarah dunia, karena wakil Sekutu-Inggris di Makassar Col Purcell menyatakan pada 24 Februari 1946 di Teling-Manado ‘’bahwa pada hari ini tentara Sekutu menyatakan perang dengan kekuasaan Sulawesi-Utara (Lapian-Taulu)’’. Sulawesi Utara sudah dianggapnya suatu negara merdeka yang memiliki wilayah, pemerintah, tentara dan rakyatnya sendiri secara utuh dari 14 Februari tetapi akhirnya menyerah kalah pada 11 Maret 1946. Dampaknya dalam Sejarah Indonesia Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 memberikan tugas kepada seluruh bangsa Indonesia: ‘’Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Soekarno-Hatta.’’ Tugas ini telah dilaksanakan oleh Lapian-Taulu dengan sangat berhasil melalui kudeta 14 Februari 1946, walaupun hanya dapat bertahan selama 24 hari dan kemudian dilanjutkan dengan revolusi kemerdekaan sampai akhir 1950 (KMB). Selama perang kemerdekaan RI dari 1945-1949, hanya kudeta 14 Februari 1946 yang berhasil merebut kekuasaan Belanda dan menggantikannya dengan suatu pemerintahan nasional yang merdeka di bawah pimpinan Lapian-Taulu. Semua pejabat Belanda NICA-KNIL ditangkap, ditawan dan dideportasi ke Morotai. Di tahun 1946-1948 sesuai perjanjian Linggarjati dan Renville oleh kedua pihak RI dan Belanda, wilayah nusantara yang di luar Jawa-Sumatera tidak termasuk dalam kekuasaan RI yang berpusat di Yogya, namun pemerintah Merah-Putih Lapian-Taulu pada 22 Februari 1946 menyatakan dalam rapat umum di Lapangan Tikala Manado, bahwa Sulawesi Utara adalah bagian dari NKRI yang berpusat di Yogya. Peristiwa Merah-Putih di Sulawesi Utara meliputi seluruh perjuangan kemerdekaan di daerah Gorontalo, Bolaang Mongondow, Manado, Minahasa dan Sangir-Talaud yang dinyatakan oleh Bung Karno dipusatkan pada 14 Februari sebagai Hari Sulawesi Utara. Hal ini dilandasi pada fakta di Sulawesi Utara sendiri, karena pada saat itu tokoh-tokoh perintis kemerdekaan di daerah, Nani Wartabone, Raja Manoppo, OH Pantouw, GEDA Dauhan berada dan turut serta dalam menegakkan kemerdekaan Merah Putih di Manado. LN Palar wakil Indonesia di PBB menyatakan sendiri bahwa RI diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia, termasuk rakyat Sulawesi Utara, buktinya dengan peristiwa Merah-Putih di Manado, seraya membantah Wakil Belanda Kleffen yang berargumentasi bahwa perjuangan kemerdekaan RI hanya untuk Jawa dan Sumatera. Bagaimana tentang perjuangan KRIS di Jawa? Di tahun 1945 daerah Minahasa, khususnya kawanua, begitupun KRIS, dicurigai oleh laskar-laskar seperjuangan di Jawa, sebagai ‘’kaki-tangan Belanda’’. Kawanua di Jawa menghadapi hambatan ini sejak tentara Jepang mendarat di Indonesia. Dr Sam Ratulangi di Jakarta dan Joop Warouw di Surabaya waktu Jepang mendarat, berusaha menyelamatkan para keluarga kawanua di Jawa, karena mereka dituduh dan dianggap ‘’Londo’’ (Belanda), musuh Nippon. Di waktu revolusi kemerdekaan yang berkobar pada 1945, KRIS pun masih dicurigai malah dinista bahwa laskar-laskar perjuangannya tidak ikhlas, hanya untuk menyelamatkan muka dan kulitnya. Tetapi dengan peristiwa 14 Februari 1946 segala kecurigaan ini terhapus sudah dan KRIS diakui benar sebagai ‘’comrade-in-arms’’ dalam menegakkan NKRI, bahkan di Minahasa rakyat seluruhnya sudah mendahului. Pada peristiwa 14 Februari 1946, Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) menghitung 5000 anggota yang bergabung dengan TRISU dari Letkol Taulu. Tokoh utama yang berhasil merebut tangsi KNIL di Teling, Mambi Runtukahu, akhirnya gugur pada 10 Maret 1946 sebagai kusuma bangsa. Juga Alo Porayouw telah gugur pada pagi 14 Februari 1946 waktu hendak menangkap Komandan KNIL di Tomohon. Karena senjata tidak ada pada PPI dan hanya dipegang oleh TRISU maka Sekutu/Belanda dengan mudah mengambil alih kekuasaan dengan pendaratan Divisi ‘’7 Desember’’ pada 10 Maret 1946 oleh kapal perang HMS Piet Hein. Sejarah perjuangan ini tidak dikenal apalagi dihayati oleh generasi penerus termasuk anak-anak yang masih di bangku sekolah. Ada buku sejarah yang dianjurkan berturut-turut oleh dua Kepala Dinas PDK di Sulut untuk dipakai di semua sekolah, tetapi effeknya dalam kehidupan sehari-hari tampaknya tidak ada. Hari Sulawesi Utara yang dipuja oleh Bung Karno waktu peringatan di Istana Negara 10 Maret 1965 tidak dikenal atau digubris oleh masyarakat Provinsi Sulawesi Utara. Otto Rondonuwu, Ketua Komisi LN pada KNIP di Yogyakarta menyampaikan suatu ucapan Bung Karno, ketika mendengar berita ‘’Pemberontakan Besar di Minahasa’’ dari AFP-Radio Australia, yang berbunyi: (baca buku ‘’Sulawesi Utara Bergolak’’). ‘’Minahasa, walaupun daerah terkecil dan terpencil di wilayah Republik Indonesia, namun putera-puteranya telah memperlihatkan kesatriaannya terhadap panggilan Ibu Pertiwi. Laksanakan tugasmu dengan seksama dan penuh tanggung-jawab!’’.

0 comments:

Post a Comment